Rempah Nusantara sebagai Imunomodulator Alami
4 jam lalu
Pandemi Covid-19 membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat dunia.
***
Wacana ini ditulis oleh Andieni Pratiwi, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Pandemi Covid-19 membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat dunia. Meski menimbulkan dampak yang begitu luas, pandemi juga melahirkan kesadaran baru terhadap pentingnya menjaga kesehatan. Dalam konteks ini, imunomodulator memperoleh perhatian khusus karena perannya dalam menyeimbangkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terlalu lemah maupun terlalu kuat.
Imunomodulator terbagi menjadi dua kategori, yaitu imunostimulan yang mampu meningkatkan sistem imun untuk melawan infeksi, serta imunosupresan yang menekan aktivitas imun, misalnya dalam konteks transplantasi organ atau penanganan penyakit autoimun. Pada dasarnya, imunomodulator merupakan senyawa yang menargetkan sel-sel pengatur daya tahan tubuh.
Dalam bentuk alami, imunomodulator dapat diperoleh dari tanaman obat yang tumbuh subur di tanah Indonesia, dengan manfaat yang meliputi pelengkap kebutuhan vitamin, pencegahan penyakit, hingga percepatan penyembuhan. Senyawa ini bekerja dengan memodifikasi respons imun terhadap antigen, baik yang berasal dari dalam tubuh maupun dari luar. Produk berbasis imunomodulator alami tersedia dalam bentuk segar maupun olahan siap konsumsi. Meskipun aman digunakan jangka panjang, para pakar merekomendasikan batas penggunaan sekitar enam hingga delapan minggu atau melalui konsultasi medis terlebih dahulu.
Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat biodiversitas dunia dengan kekayaan tanaman herbal yang berpotensi besar sebagai obat tradisional sekaligus peningkat imunitas. Namun, keterbatasan pemahaman masyarakat terkait pemanfaatan herbal sebagai imunomodulator membuat edukasi dan demonstrasi langsung menjadi langkah penting agar pengetahuan ini dapat diakses dan diterapkan secara mandiri.
Salah satu sumber utama bahan pangan fungsional di Nusantara adalah rempah-rempah dan tanaman obat yang mengandung beragam senyawa fitokimia. Penelitian menunjukkan bahwa senyawa fitokimia ini berkontribusi besar terhadap kesehatan manusia, sehingga menjadikan rempah Indonesia bahan potensial untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk, mulai dari jamu, teh herbal, jus, hingga sirup. Potensi besar tersebut didukung oleh melimpahnya bahan baku lokal, tingginya minat masyarakat, serta bukti ilmiah yang semakin kuat.
Ramuan imunomodulator tradisional umumnya berbasis rimpang seperti jahe, kunyit, dan temulawak, serta tanaman seperti serai dan meniran. Agar lebih mudah diterima, masyarakat kerap menambahkan pemanis alami seperti madu atau gula aren serta aroma segar dari daun pandan dan jeruk nipis. Jahe (Zingiber officinale), misalnya, menjadi salah satu rempah paling populer di masa pandemi. Rimpang ini kaya akan senyawa aktif seperti monoterpen (ar-curcumene, myrcene) dan seskuiterpen (zingiberene, β-phellandrene) yang memiliki efek antikolesterol, antitrombotik, antiinflamasi, vasodilator, anti-alergi, hingga antivirus. Penelitian menunjukkan bahwa jahe segar mampu menekan infeksi HRSV hingga 70 persen, sementara jahe kering hanya sekitar 20 persen. Kandungan gingerol yang khas pada jahe segar menjadikannya berpotensi sebagai agen imunomodulator alami dalam mendukung terapi antivirus, termasuk pengaturan respons sitokin berlebih pada kasus Covid-19.
Selain jahe, rimpang kunyit (Curcuma longa) dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza) mendapat sorotan karena kandungan kurkuminnya yang dikenal luas sebagai antioksidan, antiinflamasi, dan antimikroba, serta bermanfaat dalam menurunkan kadar lemak dan kolesterol darah. Serai (Cymbopogon citratus) kaya akan senyawa citral yang mampu memodulasi respons imun melalui penghambatan mediator proinflamasi, sehingga menarik untuk dikaji lebih lanjut sebagai agen imunosupresan. Sementara itu, meniran (Phyllanthus niruri), tanaman yang mudah dijumpai di Indonesia, telah lama digunakan secara tradisional untuk kesehatan hati. Senyawa filantin dalam meniran terbukti dapat memengaruhi ekspresi sitokin proinflamasi, menunjukkan potensi ganda sebagai imunostimulan sekaligus antiinflamasi, yang berharga dalam pengembangan terapi tambahan untuk Covid-19.
Mengonsumsi rempah tidak hanya relevan bagi kesehatan fisik, tetapi juga merefleksikan penghormatan terhadap tradisi leluhur yang telah diwariskan lintas generasi. Praktik ini menghadirkan makna lebih luas sebagai sarana menjaga identitas dan kearifan lokal di tengah arus globalisasi. Pengalaman sederhana, seperti menikmati secangkir jahe hangat ketika terserang flu, seringkali menghadirkan rasa nyaman dan menenangkan yang melebihi obat kimia modern. Momen semacam itu memperlihatkan betapa rempah bukan sekadar bumbu dapur, melainkan simbol kebijaksanaan budaya yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
Memanfaatkan rempah Nusantara pada akhirnya adalah bentuk kebanggaan kolektif atas kekayaan alam dan warisan budaya bangsa. Hal ini tidak hanya tentang menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga tentang merawat keterhubungan dengan akar budaya yang kuat. Dalam praktiknya, tidak perlu memilih secara eksklusif antara obat herbal dan obat modern, karena keduanya dapat berjalan berdampingan. Kombinasi keduanya menghadirkan harmoni antara tradisi dan sains modern, sebuah jalan tengah yang meneguhkan identitas sekaligus memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat kontemporer.
Corresponding Author: Andieni Pratiwi (email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Dimensi Teologis Kebersihan dalam Islam
1 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler